Lifestyle Transformation in the Digital Era: Impact and Change

Kehidupan di era digitalisasi saat ini telah memudahkan banyak hal. Teknologi telah merasuki berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, mencapai kemajuan yang luar biasa. Di zaman ini, siapapun bisa menggunakan gadget, bahkan anak-anak kecil pun tidak terkecuali. Kita sering kali menemukan anak-anak yang mampu menggunakan gadget dengan sangat ahli, bahkan melebihi kemampuan remaja seperti saya. Perubahan yang dialami masyarakat pun tak terelakkan akibat pergeseran ini.

Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah dalam pola konsumsi masyarakat di era digital atau gadget ini. Indonesia juga merasakan dampaknya secara global, di mana pasar offline atau department store di seluruh dunia tiba-tiba mengalami penurunan aktivitas. Perkembangan teknologi yang pesat mendorong para pelaku bisnis untuk mencari celah agar tetap relevan dalam era digitalisasi. Salah satunya adalah melalui perubahan gaya hidup masyarakat yang kini lebih cenderung belanja secara online.

IPSOS melaporkan bahwa mayoritas yang berbelanja secara daring adalah masyarakat yang sudah menikah atau keluarga muda dengan pengeluaran minimal sekitar Rp4 juta per bulan. Mayoritas dari mereka berbelanja untuk membayar tagihan dan membeli barang untuk kebutuhan pribadi, terutama pakaian. Tidak hanya masyarakat berumah tangga, remaja pun banyak yang memanfaatkan toko online untuk berbelanja, termasuk saya sendiri. Namun, saya akan jujur mengatakan bahwa belanja secara online memang sangat praktis. Selain harganya yang lebih terjangkau, pilihan gaya pakaian juga lebih beragam dan mudah ditemukan secara online.

Dapat dikatakan bahwa di era digital ini, hampir segala sesuatu dapat diakses dengan internet. Bisa dikatakan “kita hanya membutuhkan kuota internet, maka hidup kita terpenuhi.” Persaingan dalam dunia pasar online pun semakin ketat di Indonesia. Namun, pernahkah kita memikirkan dampak dari hal ini? Maraknya penjualan online dengan harga yang menarik telah membuat pasar offline sepi. Pada bulan September lalu, pedagang di Tanah Abang bahkan meminta agar e-commerce ditutup karena penjualan mereka menurun drastis. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menutup sejumlah platform toko online atau e-commerce pada tanggal 25 September 2023 pukul 17.00 WIB. Bahkan toko online dari TikTok juga ikut ditutup, karena banyak yang menggunakan TikTok shop untuk berbelanja.

Zulkifli Hasan mengatakan bahwa “hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus.” Keputusan ini kemudian menimbulkan bentrokan antara pedagang online. Menurut saya, langkah ini tepat karena tidak hanya membantu pedagang offline, tetapi juga sebagian masyarakat yang tidak terbiasa menggunakan gadget, terutama orang tua atau lansia. Maraknya TikTok shop juga telah mempengaruhi banyak anak muda yang rela meninggalkan pendidikan demi bekerja sebagai host di TikTok karena imbalan gajinya yang tinggi. Hal ini mengingatkan kita pada masa sistem barter di mana uang belum dikenal. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Fenisia dan berkembang di Babilonia. Seiring waktu, muncullah uang sebagai alat tukar yang mendorong terciptanya transaksi jual beli.

Pergeseran ini terus berlanjut hingga munculnya uang logam dan kertas di Indonesia. Pada 3 Oktober 1945, Maklumat Presiden Republik Indonesia menentukan jenis-jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pelukis pertama untuk uang kertas ORI adalah Abdulsalam dan Soerono. Sejak saat itu, sistem perbelanjaan di pasar tradisional menjadi lebih maju dan menggerakkan ekonomi kerakyatan. Namun, kini semuanya telah berubah. Semua dapat diakses melalui internet, bahkan jika berbelanja secara offline, banyak yang menggunakan QRIS atau pembayaran non-tunai melalui digital.

Dalam maraknya dunia pergitalan ini, kita perlu ingat bahwa terlalu bergantung pada gadget tidak selalu menguntungkan. Monopoli pasar yang terjadi, seperti pada TikTok, harus diwaspadai. Indonesia akan maju jika tidak terlalu bergantung pada gadget dalam segala aspek kehidupan.

Penulis: Afica Nisa Lestari Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

source
https://unair.ac.id