HIMA MKSB Holds National Seminar on Local Culture

Para pembicara dalam Seminar Nasional Budaya Lokal

Dalam rangkaian kegiatan Dies Natalis Ke-15, dua pembicara yang juga merupakan bagian dari Magister Kajian Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga hadir untuk berbagi pemikiran mereka yaitu Nyoman Suwarta, S.S., M.Hum, Lauhil Fatihah, S.Hum. Lady Khairunnisa, S.Hum. selaku Ketua HIMA MKSB sebagai moderator. Tak lupa, Dr. Listiyono Santoso, S.S M.Hum. selaku Wakil Dekan I FIB juga memberikan sambutan, memberikan sorotan tentang pentingnya pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan penggunaan kebudayaan sebagai empat pilar utama dalam pemajuan kebudayaan.

“Pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, penggunaan itu merupakan empat pilar penting dalam pemajuan kebudayaan. Kita harus mengembangkan kebudayaan dalam konteks Indonesia untuk mewujudkan konsep Tri Sakti Soekarno, khususnya berkepribadian dalam berkebudayaan,” sambutnya dengan penuh semangat, menggugah kesadaran akan pentingnya menjaga keberagaman budaya dan sastra sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan kekayaan bangsa Indonesia.

Suwarta mengawali presentasinya dengan menjelaskan metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji masyarakat Tengger, yaitu metode etnografi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Tengger terdampak oleh pariwisata, mereka tetap mempertahankan teguh adat dan budaya mereka, termasuk dalam hal status, norma, dan aturan sosial. Tujuan utama masyarakat Tengger adalah hidup harmonis dengan lingkungan sekitar, sehingga mereka tidak hanya menerima globalisasi namun juga mengadaptasikannya sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal mereka.

“Kondisi masyarakat Tengger memperlihatkan penerimaan yang bijaksana terhadap globalisasi dengan mengadaptasi nilai-nilai lokal mereka, yang berbeda dengan dampak yang lebih besar pada budaya Bali akibat pariwisata, terutama di daerah Denpasar,” ungkap Suwarta.

Suwarta juga menegaskan bahwa metode etnografi adalah pendekatan yang tepat untuk memahami dan mengkaji suatu budaya atau masyarakat. Namun, ia juga mengakui bahwa penelitian etnografi membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam.

“Seorang peneliti etnografi harus hadir dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti selama minimal enam bulan. Mereka harus mampu beradaptasi dengan budaya lokal dan menjaga netralitas dalam hubungan dengan informan,” papar mahasiswa S3 UNAIR ini.

Nyoman Suwarta, S.S., M.Hum saat memaparkan materi

Sementara itu, Lauhil Fatihah membahas tentang Tarian Ojung dari perspektif neo evolusi. Ojung, yang awalnya merupakan tarian perang yang dilakukan oleh golongan bangsawan di daerah Tapal Kuda oleh suku Madura Pendalungan, mengalami transformasi makna seiring dengan perkembangan zaman. Kini, tarian perang tersebut telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat biasa.

“Kondisi politik yang relatif damai dan perubahan makna perang yang tidak lagi identik dengan teknologi modern dalam persenjataan membuat tarian perang seperti Ojung kurang relevan untuk dilakukan, terutama oleh golongan bangsawan,” ungkap mahasiswi MKSB ini.

Lauhil juga menekankan bahwa pelestarian tradisi seperti tarian Ojung memerlukan kerjasama yang kuat antara pelaku budaya, masyarakat, dan pemerintah. Ini harus didukung oleh kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat agar nilai-nilai budaya yang berharga dapat terus diwariskan dan dilestarikan untuk generasi mendatang.

“Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tarian Ojung, seperti atribut, properti, dan aspek religiusnya, tetap dipertahankan sebagaimana warisan dari Bangsa Austronesia,” tutup Lauhil.

Penulis : Lady Khairunnisa Adiyani | Editor: Jihan Rafifah Mahdiyyah

source
https://unair.ac.id