Bassra Ulama and Their Role in Madura Development

Suasana pertemuan ulama Bassra di Pamekasan pada 23 Oktober 2023 lalu. Mereka inilah yang sampai kini tetap eksis mengawal berbagai pembangunan untuk kemajuan Madura. -Purnawan Basundoro-

Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) kembali mencatatkan sejarahnya dengan menyelenggarakan pertemuan ulama pada 23 Oktober 2023 di Pamekasan. Acara ini tidak sekadar menjadi perayaan prestasi, tetapi juga momentum penting untuk mendokumentasikan perjuangan ulama Madura dalam mengawal pembangunan, khususnya terkait dengan pembangunan Jembatan Suramadu.

Madura, sebuah pulau yang kaya akan nilai-nilai keislaman, telah melahirkan banyak ulama terhormat yang menjadi pilar utama dalam lembaga pendidikan pesantren. Falsafah “bhuppa’-bhabhu’-ghuru-rato” (bapak-ibu-guru-ratu) mencerminkan penghormatan kepada orang tua, guru yang identik dengan ulama, dan mereka yang memegang tanggung jawab pemerintahan.

Sejarah mencatat bahwa Jembatan Suramadu, sebuah simbol kemajuan Madura, merupakan hasil dari perjuangan masyarakat dan ulama Madura. Dibangun mulai tahun 2003 pada masa pemerintahan Presiden Megawati, jembatan megah ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009.

Namun, sebelum kemegahan Jembatan Suramadu terwujud, Bassra terlibat dalam perjuangan intensif pada tahun 1990-an terkait pembangunan jembatan tersebut. Ide pembangunan jembatan ini dicetuskan oleh tokoh Madura, Mohammad Noer, yang pada masanya menjabat sebagai Bupati Bangkalan dan Gubernur Jawa Timur.

Pada tahun 1990, Keputusan Presiden RI nomor 55 tahun 1990 dikeluarkan, menetapkan pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dengan tujuan meningkatkan pembangunan di Pulau Madura dan memperluas kawasan industri serta perumahan di Surabaya.

Respons dari kalangan ulama Madura terhadap proyek ini memunculkan ketegangan. Mereka khawatir bahwa industrialisasi yang diakibatkan oleh pembangunan jembatan akan berdampak negatif terutama terhadap moral dan nilai-nilai keagamaan masyarakat setempat.

Proses perundingan antara pemerintah dan ulama Bassra berlangsung panjang. Pemerintah mencoba membujuk ulama dengan studi banding ke kawasan industri Batam dan Surabaya. Namun, sikap ulama semakin mengeras setelah mengetahui dampak kurang baik dari industrialisasi tersebut.

Studi yang dilakukan oleh Muthmainnah, yang terdokumentasikan dalam buku “Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi,” menggambarkan perhatian ulama terhadap posisi masyarakat Madura dalam menghadapi industrialisasi yang diusung pemerintah. Mereka berpendapat bahwa perubahan radikal memerlukan pembangunan sumber daya manusia secara seimbang dengan memperhatikan unsur-unsur keagamaan.

Setelah negosiasi yang sengit, pada tahun 1994 tercapai kesepakatan antara pemerintah dan ulama Bassra. Dokumen kesepakatan, yang terdiri dari sembilan poin, menetapkan bahwa ulama akan berperan dalam pembangunan nasional, termasuk pembangunan Jembatan Suramadu. Harapannya, pembangunan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Peran ulama dalam sejarah bangsa Indonesia sangat signifikan. Mereka bukan hanya menjadi pilar keagamaan tetapi juga terlibat dalam perjuangan melawan penjajah sejak periode awal kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan, ulama aktif dalam membangun sumber daya manusia melalui lembaga pendidikan yang mereka dirikan.

Pada era kontemporer, peran ulama Bassra tetap eksis dalam mengawal berbagai pembangunan demi kemajuan Madura. Meskipun Jembatan Suramadu telah selesai dibangun, ulama Bassra tetap berperan aktif dan memiliki peran strategis dalam mengawal kemajuan Madura. Kehadiran mereka dalam sejarah Madura harus diabadikan, dan untuk itu, penyusunan buku sejarah perjuangan ulama Bassra menjadi sangat penting. Buku ini diharapkan menjadi dokumen berharga yang dapat dibaca oleh generasi mendatang.

Oleh: Purnawan Basundoro Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

source
https://unair.ac.id